Sabtu, 24 April 2010

BERPIKIR DAN BERTINDAK DENGAN BIJAK
Setiap kejadian dimuka bumi ini pasti ada sebab-akibatnya. Begitu juga dengan perilaku seorang manusia. Seseorang akan melakukan sesuatu pasti ada alasannya dan alasan itu bisa berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Contohnya, Andi makan karena memang dia lapar, sedangkan Syamil makan karena pingin setelah melihat menu yang tersedia di meja, tapi shinta makan karena memang sudah waktunya makan siang misalnya, karena Santi adalah anak yang sangat tertib dengan jadwal yang dibuatnya. Kita tidak bisa membuat kesimpulan bahwa setiap orang yang mengantri di restaurant saji itu adalah orang yang kelaparan. Seperti itulah, setiap perilaku akan sangat tergantung pada niat seseorang dalam melaksanakannya dan semestinya sebagai orang yang melihat dari luar, kita tidak bijak jika terlalu cepat menjustifikasi bahwa kalau perilaku orang B, pasti karena C, dan akibatnya akan X.
Sebagai contoh kasus, seorang istri yang berpisah dengan suaminya yang berbeda akidah. Mereka memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil. Usia anak-anak nya masih dibawah umus sehingga hak pengasuhan jatuh ke tangan ibunya. Sesaat sang ibu tertegun dan berpikir “Bagaimana saya bisa membesarkan ketiga anak saya sedangkan saya sendirian dan tidak memiliki apa-apa?” Hari demi hari dilaluinya dengan perasaan bercampur aduk untuk mencari jalan keluar. Kadang sang ibu berpikir untuk menitipkan anak-anak mereka pada saudara sedangkan dia kembali bekerja untuk mencari nafkah buat anak-anaknya. Dan tak jarang pikiran untuk bunuh diri datang karena putus asa. Pernah juga terpikir sang ibu menitipkan anak-anaknya pada sang nenek-kakeknya. Setelah dipikirkan dengan matang, sang ibu merasa tidak bijak membiarkan anak-anaknya dalam pangkuan nenek-kakeknya sementara beliau-beliau ini seharusnya beristirahat setelah sekian tahun merawat anak-anaknya sendiri. Akhirnya sang ibu memutuskan untuk mengambil anak-anak tersebut kembali dalam rengkuhannya dan dengan penuh semangat dan penuh keyakinan bahwa aku bisa membesarkan anak dengan caraku, bahwa aku akan berusaha mendidik mereka dengan kasih sayangku dan segenap upayaku untuk menyelamatkan akidahdan akhlaknya sehingga mereka menjadi orang-orang yang tangguh dimasa depan. Banyak orang mencibir keputusan itu dan membuat kesimpulan bahwa tidak akan berhasil seorang single parent bisa membesarkan anak dengan sempurna (anak-anaknya akan berhasil secara dunawi), karena bagaimanapun juga secara fitrah anak membutuhkan kasih sayang seorang figur bapak. Namun dengan tekad baja, dengan ucapan Bismillahirrohmanirrohim dan keyakinan kuat akan adanya pertolongan Allah serta keyakinan akan ayat Allah dalam Al Quran yang menyatakan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan pada manusia diluar batas kemampuannya.
Subhanallah, tiga belas tahun kemudian sang ibu meraih buah kesabarannya. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang santun dan pintar serta sangat bijak untuk anak-anak seusianya. Prestasi akademis yang sangat membanggakan dan ketekunan dalam beribadahnya sangat menonjol. Mereka tumbuh jauh lebih baik dari perkiraan orang-orang sebelumnya dan bahkan mungkin mereka tumbuh dengan lebih baik dari anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh. Dan orang-orang yang dulu mencibir dan menyimpulkan bahwa sang ibu tidakakan mampu membesarkan anak-anaknya dengan baikpun mengacungkan kedua jempolnya untuk keberhasilan ibu ini.
Itulah kekuatan keyakinan, kekuatan doa. Keyakinan yang kuat akan sesuatu akan memberikan rasa percaya diri sehingga kita optimis dapat melalui segala rintangan yang menghadang di depan. Segala permasalahan didunia pasti ada jalan keluarnya. Dan setiap musibah ataupun cobaan yang kita hadapi sudah ada takarannya.
Sejarah telah banyak membuktikan bahwa prasangka atau penilaian yang terlalu cepat terhadap sesuatu dan menilai sesuatu hanya berdasarkan kemampuan pikir dan logika manusia banyak yang termentahkan. Pola pemikiran bahwa program KB akan menghasilkan generasi yang sedikit namun berkualitas merupakan logika manusia yang kurang tepat. Mestinya adanya program berencana tidak hanya sebatas mengatur jumlah kelahiran anak, tapi harus juga dibarengi dengan program pendidikan bagi para orang tua tentang bagaimana cara untuk mendidik anak yang berkualitas. Sebab, pada kenyataannya berapa banyak anak-anak yang “direncanakan “ tumbuh menjadi pribadi yang sedikit manja , egois, dan kurang matang secara psikologis. Dan berapa banyak pula anak-anak dari keluarga besar yang tumbuh dengan pribadi yang kuat, mandiri, tangguh, optimis dan pantang menyerah dalam menjalani hidup.
Sebagai manusia dan orang tua yang berpendidikan dan beragama semestinya berpikir dan terus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Seperti apa anak yang kita harapkan, berlaku seperti itulah kita. Kita menginginkan anak rajin beribadah, rajin beribadah dululah orang tuanya. Kita ingin anak kita menjadi anak yang sabar, orang tua juga harus belajar sabar. Kita ingin anak-anak kita rajin belajar dan disiplin, orang tua harus bersikap demikian terlebih dahulu. Jangan serahkan pendidikan ank kita ditangan pembantu dengan kata lain jangan lah model utama yang selalu dilihat dan diperhatikan oleh anak kita adalah pembantu. Hal ini tidak berati mengecilkan peran pembantu dalam suatu keluarga karena pada hakekatnya yang dititipi anak oleh Allah adalah orang tua. Oleh karena itu sebagai orang tua kita harus sadar bahwa urusan mendidik anak adalah tugas utama kita. Karena anak kita adalah aset dunia-akhirat bagi orang tuanya.
Jangan cepat patah semangat dan cepat mengambil kesimpulan yang kurang produktif terutama jika kita dipercaya oleh Allah untuk mendidik anak yang berkebutuhan khusus. Misalnya, Anak penyandang cacat, autis, ADHD, keterbelakangan mental dan sebagainya. Yang harus diyakini oleh orang tua tersebut adalah keyakinan bahwa Allah telah menitipkan anak-anak tersebut kepada orang yang tepat. Artinya orang tua tersebut harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan kemampuan anak-anaknya. Hasil dari upaya orang tua memang berbeda-beda tergantung pada konsistensi saat terapi sampai mereka siap menjadi pribadi yang mandiri. Namun jangan terlalu cepat berputus asa karena tugas utama manusia adalah berusaha dan hasilnya adalah Allah yang menentukan karena Dia adalah Dzat Yang Maha Tahu atas kemampuan hambanya.
Membentuk keluarga berkualitas harus berawal dari orang tua yang berkualitas pula. Menjadikan keluarga berkualitas tidak cukup hanya dengan slogan dan retorika melainkan harus dengan contoh kongkrit dari para orang tuanya. Tidak ada cara instant dalam mendidik anak.
Berpikir holistic, menyeluruh, dengan meminimalisir unsur-unsur subyektif dalam diri kita memerlukan latihan yang cukup. Ada seseorang yang harus berselingkuh dulu untuk dapat menyadari dan memahami bahwa suami/istrinya adalah pemberian Allah yang paling sempurna untuknya. Namun ada pula orang yang sudah berilmu dan sangat yakin akan takdir Allah, mereka sangat mensyukuri apa-apa yang telah Allah hadiahkan kepadanya tanpa melupakan tugas nya sebagai hamba. Mereka tak perlu jatuh ke jurang dulu karena mereka sudah mengetahui cara bagaimana membuat jembatan atau mereka sudah mengetahui jalan lain yang meskipun jalanan itu sangat terjal dan berliku namun dengan penuh keyakinan jalan itu tetap ditempuh karena diujung jalan yang berliku itulah tujuan. Tinggal kita sebagai manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh untuk menngapai tujuan hidup yang muaranya sudah pasti yaitu berujung pada kematian. Dan sebagai muslim kita pasti yakin kalau kematian itu bukan akhir .
Banyak orang merasa tenang ketika segala macam asuransi, tabungan dan segala sesuatu yang secara materi sudah mereka siapkan untuk anak keturunannya. Mereka hanya berfikir kalau-kalau terjadi sesuatu pada kami (orang tua meninggal) anak-anakku sudah punya bekal untuk sekolah/usaha. Apakah pemikiran seperti itu salah? Tidak sepenuhnya salah. Tapi alangkah lebih bijaksana jika orang tua juga menyiapkan bekal untuk kematian anak-anaknya. Kita sadar kalau setiap manusia pasti akan mati, lantas kenapa kita hanya sibuk menyiapkan bekal hidup untuk anak-anak kita yang kita belum tahu pasti apa yang akan terjadi esok, bahkan meski hanya lewat mimpi. Tidak tergerakkah hati kita untuk menyiapkan masa depan yang lebih pasti yaitu kematian dan kehidupan sesudahnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar